الْوَعْدُ وَالْوَعِيْدُ
”JANJI DAN ANCAMAN SERTA PARA PELAKU DOSA BESAR MENURUT
ALIRAN-ALIRAN DALAM ISLAM”
Mah. Elfan Falah
PENDAHULUAN
Maraknya aliran-aliran yang ada di dunia islam ini, terutama aliran
teologi sendiri, mengakibatkan para penelaah atas paham-paham teologi ini
semakinn rancu akan berfikir dalama mencari kebenaran khususnya dalam
masalah-masalah ketuhanan. Anehnya lagi, objek kajian yang berbeda bisa
menimbulkan kesimpulan yang bermacam-macam dalam dunia teologi sendiri, satu
contoh dalam memahami sifat-sifat Allah misalnya, terdapat beberapa kesimpulan
dan bermacam-macam anggpana mengenai
sifat Allah itu sendiri. Dan Akhirnya para pengkonsumsi akan pemahaman itu tak
lagi tahu akan hakikat makna Tuhan itu sendiri.
Dunia mulai
berkeluh kesah kalau bisa dikatakan seperti itu kira-kira, sebab,
menghawatirkan kepada generasi-generasi islam yang akan datang, kalau generasi
islam tidak tahu menahu akan dasar dasar islam itu sendiri itu, maka akan
mengekibatkan jadi apa islam itu nantinya mendatang.
Oleh karena itu,
saya mengangkat tema yang berjudul “ janji dan ancaman dan para pelaku dosa
besar menurut alira-aliran dalam islam” untuk membedakan antara pendapat
aliran yang satunya dengan yang lainnya. Karena saya merasa mengangkat tema
yang sederhana ini hampir mulai dilupakan oleh masyarakat kita khususnya islam
itu sendiri. Padahal mereka tidak tahu dan tidak bisa membedakannya.
Keritikan dan
saran atas adanya makalah/paper ini demi perkembanagn pengetahuan penulis
sangat-sangat kami butuhkan. Dan sebagai kata terakhir dari saya, semoga
bermanfaat bagi sipembaca dan penulis terlebih. Amien...
Prenduan, 12 januari, 2012
( Moh. Elfan Falah )
JANJI DAN ANCAMAN
Dalam perbuatan-perbuatan tuhan termasuk perbuatan menepeati janji
dan menjalankan ancaman (Al-wa’du wa al-wa’id). Sebagaimana diketahui,
janji dan ancaman merupakan salah satu dari lima dasar kaum mu’tazilah. Hal ini
erat hubungannya dengan dasar keduanya, yaitu keadilan. Tuhan akan bersifat
tidak adil jika tidak menepati janji untuk memberi pahala kepada orang yang
berbuatbaik; dan menjalankan ancaman bagi orang yang berbuat jahat. Selanjutnya
keadaan tidak menepati janji dan tidak menjalankan ancaman bertentangan dengan
maslahat dan kepentingan manusia. Oleh karena itu, menepati janji dan
menjalankan ancaman adalah wajib bagi Tuhan.[1]
Menurut’Abd al-jabar, hal ini akan membuat tuhan akan membuat tuhan mempunyai
sifat berdusta.[2]
Bagi kaum Asy’ariyah paham ini tidak dapat berjalan sejajar dengan
keyakinan mereka tentang kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan dan tentang tidak
adanya kewajiban-keawajiban bagi Tuhan. Tuhan tidak mempunyai kewajiban
menepati janji dan menjalankan ancaman yang tersebut dalam Al-Qur’an dan Hadis.
Tetapi disini timbul persoalan bagi kaum Asy’ariyah, karena dalam
Al-Qur’an dengan tegas dikatakan bahwa siapa yang berbuat baik akan masuk surga
dan siapa yang berbuat jahat akan masuk neraka. Untuk mengatasi ini, kata kata
arab man, allazna dan sebagainya dan menggambarkan arti siapa, oleh al-Asy’ariyah sendiri diberi
interpretasi “bukan semua orang, tetapi sebagian”. Dengan demikian kata “siapa”
dalam ayat “barang siapa yang menelan harta anak yatim dengan cara tidak adil,
maka ia sebenarnya menelan api masuk kedalam perutnya”. Mengandung arti bukan
seluruh tetapi sebagian orang yang berbuat demikian. Dengankata lain yang di
ancam akan mendapat hukuman, bukanlah semua orang akan tetapi sebagian orang
yang menelan harta anak yatim piatu. Yang sen Kn terlepas dari ancaman atas
dasar kekuasaan dan kehendak bagian mutlak tuhan Tuhan. Dengan interpretasi
demikianlah al-Asy’ariyah mengatasi
persoalan wajibnya tuhan menepati janji dan menjalankan ancaman.[3]
Kaum maturidiyah golongan Bukhara dalam hal ini tidak seluruhnya
sepaham dengan kaum asy’ariyah. Dalam pendapat mereka, seperti yang dijelaskan
oleh al-Bazdawi, tidak mungkin tuhan melanggar janji-Nya untuk memberi upah
kepada orang yang berbuat baik, tetapi sebaliknya bukan tidak mungkin Tuhan
membatalkan ancaman untuk memberi hukuman kepada orang yang berbuat jahat. Oleh
karena itu, oleh karena itu nasib orang berdosa besar ditentukan oleh kehendak
mutlak Tuhan. Jika Tuhan berkeendak untuk memberi ampun kepada orang yang
berdosa, Tuhan akan memasukkannya bukan kedalam neraka tetapi kedalam surga;
dan jika Ia berkehendak untuk memberi hukuman kepadanya Tuhan akan
memasukkananya kedalam neraka buat sementara atau buat selama-lamanya. Bukaan
tidak mungkin bahwa Tuhan memberi ampun kepada seseorang tetapi dalam padaitu
tidak memberi ampun kepada orang lain sungguhpun dosanya sama.[4]
Uraian al-Bazdawi diatas mengandung arti bahwa Tuhan wajib menepati
janji untuk memberi upah kepada yang berbuat baik. Dengan demikian, Tuhan,
dalam paham al-Bazdawi mempunyai kewajiban terhadap manusia. Pendapat ini
berlawanan dengan pendapatnya yang dijelaskan sebelumnya, bahwa Tuhan sekali
kali tidak mempunyai kewajiba apa-apa terhadap manusia. Dari sini dapat
diketahuai bahwa menurut paham al-Bazdawi kekuasaan Tuhan dan kehendak Tuhan
tidaklah betul betul mutlak seperti yang dianut oleh kaum asy’ariyah, Tuhan
boleh saja melanggar janji-janji-Nya. Bagi maturidiyah kaum golongan Bukhara,
Tuhan tidak mungkin melanggar janji dan memberi upahkepada orang yang berbuat
baik.
Kontradiksi yang terdapat dalam al-Bazdawi ini mungkin timbul dari
keinginannya untuk mempertahankan kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, tetapi
dala pada ingin mempertahankan keadilan Tuhan. Mengatakan bahwa tuhan dapat
memasukkan orang yang berbuat jahat kedalam surge, tidaklah bertentangan dengan
rahmat Tuhan.
Golongan Samarkand dalam hal ini mempunyai pendapat yang sama
dengan kaum mu’tazilah. Mereka berpendapat bahwa upah dan hukuman tak boleh
tidak mesti terjadi kelak.[5]
PELAKU DOSA BESAR MENURUT ALIRAN-ALIRAN
DALAM ISLAM
1)
Menurut
Aliran Khawarij
Pada umumnya, ciri yang
menonjol dari aliran Khawarij adalah watak ekstrimitas dalam memutuskan
persoalan-persoalan kalam. Hal ini disamping didukung oleh waatak kerasnya
akibat kondisi geografis gurun pasir, juga dibangun atas dasar pemahaman
tekstual nas-nas Al-Qur’an dan Hadis.[6] Tak heran kalau aliran ini
memiliki pandangan ekstrim pula tentang status pelaku dosa besar. Mereka
memandang bahwa orang-orang
yang terlibat dalam peristiwa tahkim, yakni Ali, Mu'awiyah, Amr bin Al-Ash, Abu Musa
Al-Asy’ari adalah kafir, berdasarkan firman Allah pada surat al-Maidah ayat 44:
Artinya:
“Barang siapa yang tidak memutuskan menurut
apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.”
Semua pelaku dosa besar (murtabb al-kabiiah),
menurut semua subsekte Khawarij,
kecuali Najdah adalah kafir dan akan disiksa dineraka selamanya.
Pandangan pelaku dosa besar oleh subsekte
khawarij,
1) Azariqah, merupakan subsekte Khawarij
yang sangat ekstrim, mereka menggunakan istilah yang lebih mengerikan
dari kafir, yaitu musyrik. Mereka memandang musyrik bagi siapa saja yang tidak
mau bergabung dengan barisan mereka atau yang tak sepaham dengan mereka.
Adapun pelaku dosa besar dalam pandangan mereka telah beralih status
keimanannya menjadi kafir millah (agama), dan berarti ia telah keluar dari
Islam, mereka kekal di neraka bersama orang-orang kafir lainnya.
2) Najdah, subsekte ini hampir
sama dengan Azariqah. Mereka menganggap musyrik kepada siapapun yang
secara continue mengerjakan dosa kecil. Seperti halnya dengan dosa besar
jika tidak dilakukan secara terus menerus maka pelakunya tidak dipandang
musyrik, tetapi hanya kafir.
3)
An Najdat, juga
berpendapat bahwasanya orang yang berdosa besar menjadi kafir dan kekal di
dalam neraka hanyalah orang Islam yang tidak sefaham dengan golongannya. Adapun
pengikutnya, jika mengerjakan dosa besar tetap mendapatkan siksaan di neraka,
tetapi pada akhirnya akan masuk surga juga.
4) Al-Muhakimat, menurut
subsekte ini Ali, Muawiyah, kedua pengantarnya (amr bin Al-Ash dan Abu Musa
Al-Asy’ari) dan semua orang yang menyetujui arbitrase adalah bersalah dan
menjadi kafir. Hukum kafir inipun mereka luaskan artinya sehingga termasuk
orang yang berbuat dosa besar, berbuat zina, membunuh sesama manusia tanpa
sebab, dan dosa-dosa besar lainnya menyebabkan pelakunya telah keluar dari
Islam.
5) As-Sufriah, subsekte ini
membagi dosa besar dalam dua bagian, yaitu
I.
Dosa
yang ada sanksinya di dunia, seperti membunuh dan berzina. Pada kategori ini,
pelakunya tidak dipandang kafir.
II.
Dosa
yang tak ada sanksinya di dunia, seperti meninggalkan sholat dan puasa. Dan
pada kategori ini pelakunya dipandang kafir.[7]
2)
Menurut
aliran Murji’ah
Secara garis besar,
sebagaimana telah dijelaskan subsekte Khawarij, Murji’ah dapat dikategorikan
dalam dua kategori: ekstrim dan moderat. Murji’ah ekstrim berpandangan bahwasanya
pelaku dosa besar tidak akan disiksa di neraka.
Adapun Murji’ah moderat ialah mereka yang
berpendapat bahwa pelaku dosa besar tidaklah menjadi kafir. Meskipun disiksa
dineraka, ia tidak kekal didalamnya, bergantung pada ukuran dosa yang
dilakukannya. Masih terbuka kemungkinan bahwa Tuhan akan mengampuni dosanya
sehingga ia bebas dari siksa neraka.
3)
Menurut
aliran Mu'tazilah
Diantara kedua aliran diatas mengenai status
pelaku dosa besar, perbedaannya, bila Khawarij mengkafirkan pelaku dosa besar dan
Murji’ah memelihara keimanan pelaku dosa besar, Mu'tazilah tidak menentukan
status dan predikat yang pasti bagi pelaku dosa besar, apakah ia tetap mukmin
atau kafir, kecuali dengan sebutan yang sangat terkenal, yaitu al-manzilah bain al-manzilatain. Setiap
pelaku dosa besar, menurut Mu'tazilah, berada diposisi tengah diantara posisi
mukmin dan kafir. Jika pelakunya meninggal dunia dan belum sempat bertaubat, ia
akan dimasukkan ke dalam neraka selama-lamanya. Walaupun demikian,
siksaan yang diterimanya lebih ringan dari pada siksaan orang-orang kafir.
Dalam perkembangannya, beberapa tokoh Mu'tazilah, seperti Wasil bin Atha’ dan Amr bin
Ubaid memperjelas sebutan itu dengan istilah fasik yang bukan mukmin atau kafir.
4)
Aliran
Asy’ariyah
Terhadap pelaku dosa
besar, agakanya Al-Asy’ari, sebagai wakil Ahl As-Sunnah, tidak mengkafirkan
orang-orang yang sujud ke Baitullah (ahl Al-Qiblah) walaupun melakukan dosa
besar, seperti berzina dan mencuri. Menurutnya, mereka masih tetap sebagai
orang yang beriman dengan keimanan yang mereka
miliki, sekalipun
berbuat dosa besar. Akan tetapi jika dosa besar itu dilakukannya dengan
anggapan bahwa hal ini dibolehkan (halal) dan tidak meyakini keharamannya, ia
dipandang telah kafir.
Adapun balasan di
akhirat kelak bagi pelaku dosa besar, apabila ia meninggal dan tidak sempat
bertaubat, maka menurut Al-Asy’ari, hal itu bergantung pada kebijakan Tuhan
Yang Maha Berkehendak Mutlaq. Dari paparan singkat ini, jelaslah bahwa
Asy’ariyah sesungguhnya mengambil posisi yang sama dengan Murji’ah, khususnya
dalam pernyataan yang tidak mengkafirkan para pelaku dosa besar.
5)
Aliran
Maturidiyah
Aliran Maturidiyah, baik
Samarkand maupun Bukhara, sepakat menyatakan bahwa pelaku dosa masih tetap
sebagai mukmin karena adanya keimanan dalam dirinya. Adapun balasan yang
diperolehnya kelak di akhirat bergantung pada apa yang dilakukannya di dunia.
Jika ia meninggal tanpa taubat
terlebih dahulu, keputusannya diserahkan sepenuhnya kepada kehendak Allah SWT.
Jika menghendaki pelaku dosa besar diampuni, ia akan memasukkan ke neraka, tetapi tidak kekal
didalamnya.
Al-Maturidi sebagai peletak dasar aliran
kalam Al-Maturidiyah, berpendapat bahwa orang yang berdosa besar itu tidak
kafir dan tidak kekal di dalam neraka walaupun ia mati sebelum bertaubat.
Karena Tuhan telah menjanjikan akan memberikan balasan kepada manusia sesuai
dengan perbuatannya. Kekal di dalam neraka adalah balasan bagi orang yang
berbuat dosa syirik. Karenanya, perbuatan dosa besar (selain syirik) tidaklah
menjadikan seseorang kafir atau murtad. Menurutnya, iman itu cukup dengan
tashdiq dan iqrar, sedangkan amal adalah penyempurnaan iman.
6)
Aliran
Syi’ah Zaidiyah
Penganut Syi’ah Zaidiyah
percaya bahwa orang yang melakukan dosa besar akan kekal di dalam neraka, jika ia belum taubat dengan taubat yang sesungguhnya.
Dalam hal ini, Syi’ah Zaidiyah memang dekat dengan Mu'tazilah. Ini bukan
sesuatu yang aneh mengingat Washil bin Atha’, mempunyai hubungan
Kesimpulan
Pada dasarnya janji dan ancaman
diatas adalah salah atu dari lima dasar dari pondasi kaum mu’tazilah. Karena kaum mu’tazilah dekenal dengan
golongan yang sangat rasionalis sekali, sehingga sampai pada janji dan ancaman
Allah sekalipun di talar dengan logika mereka. Golongan mu’tazilah ini tidak
sadar bahwa kekuatan daya talar mereka ada batasnya, dan kemampuanya terbatas.
Namun sangat penting pula hikmah yang bisa dapat kita petik dari gologan
mu’tazilah ini. Diantarany: pertama: kemauan yang sangat keras dari
mu’tazilah untuk menalar dengan logika yang mereka miliki, setidaknya mereka
tau bahwa betapa besar keagungan Tuhan menganugrahkan kita berupa Akal ini. Kedua:
kemampuan mereka berkreasi di bidang pengetahuan baru, sehingga banyak
penemuan penemuan baru yang mereka temukan dari kemampuan ilmu menalar mereka.
Pada umumnya para pelaku dosa besar
ini, menurut aliran-aliran yang ada dalm islam adalah mereka pasti ada
balasannya. Karena setiap ada perbuatan pasti dipertanggung jawabkan. Namuan
ada beberapa perbedaan dari aliran mereka masing-masing. Diantaranya:
1.
Aliran Khawarij. Yang dikenal dengan ke eksrimannya itu,
mereka menganggap bahwa setiap mereka yang memutuskan sesuatu tidak berdasarkan
yang dwahyukan Allah, maka mereka kafir. Itulah yang dipahami olongan Khawarij
tentang pelaku dosa besar.
2.
Aliran Murji’ah. Ada dua golongan yang ada di Murji’ah itu
sendiri. Yaitu golongan yang pendapatnya ekstrim, mereka menganggap bahwa
setiap yang melakukan dosa besar akan disiksa. Yang satunya lagi, golongan yang
moderat, mereka beranggapan bahwa sekalipun para pelaku dosa besar itu disiksa
dalam neraka, setidaknya mereka bukan orang kafir.
3.
Aliran Mu’tazilah. Mereka berasumsi bahwa, Setiap
pelaku dosa besar, menurut Mu'tazilah, berada diposisi tengah diantara posisi
mukmin dan kafir.
4.
Aliran As-‘ariyah
berpendapat bahwa. Menurutnya, mereka masih tetap sebagai orang yang beriman
dengan keimanan yang mereka
miliki, sekalipun
berbuat dosa besar.
5.
Aliran Maturidiyah, baik
Samarkand maupun Bukhara, sepakat menyatakan bahwa pelaku dosa masih tetap
sebagai mukmin karena adanya keimanan dalam dirinya.
6.
Beda dengan aliran
Syi’ah zadiyah ini, golongan ini berpendapat bahwa orang yang melakukan dosa
besar kekal selama-lamanya di dalam neraka.
Penutup
Satu kata yang bisa saya katakana di awal penutup ini,
berkaryalah selagi bisa. Makanlah sesuatu yang bisa kamu makan hingga tertelan,
tapi ingat jangan sampai makanan itu membuat kamu mabuk, atau bisa berakibat
fatal kepada diri kamu. Artinya lakuakanlah yang terbaik kepada dirimu sendiri
apa yang menurut kamu baik. Dan berkaryalah sebanyak-banyaknya, karna orang
bisa dikenal dengan tiga hal yaitu: karya bukunya, kata-kata bijaknya yang
penuh dengan hikmah, dan keilmuannya. Maka dari itu, tirulah kekreatifan
para golongan mu’tazilah, mereka mampu dengan kemauan mereka yang keras untuk
merumuskan suatu yang abstarak menjadi yang faktual yang betul-betul rasioal.
Penulis mengucapkan banyak terima
kasih kepada dosen pembimbing karna telah banyak mengajarkan banyak hal kepada
saya pribadi, khususnya dalam pembuatan makalah/paper ini, banyak sekali ilmu
yang dapat saya ambil dari pembuatan makalah ini.
Seperti yang saya katakana di
mukadimah diatas, kritikan dan saran yang sifatnya membangun kepada saya baik
itu berupa ilmu pengetahuan atau yang lainya, itu sangat-sangat saya butuhkan
demi kebaikan kita bersama.dan sebagai kata terakhir saya, semoga makalah ini
bermamfaat bagi yang membaca, terlebihnya bermamfaat bagi penulis.
Wassalam…wr…wb.
[1] Ilmu Kalam; Karangan Dr. Abdul Rozak, M.Ag-Dr. Rosihon Anwar,
M.Ag. halm; 155
[2] Al-Ushul, 135. (Teologi Islam “aliran ailiran sejarah
analisa perbandingan”). Karangan; Harun Nasution. Hlm; 132
[3] Teologi Islam; (Haru Nasution) hlm;133
[4] Teologi Islam (Harun Nasution) hlm;134
[5] Teilogi islam (Harun Nasution) hlm;134
[6] Ilmu Kalam; Karangan Dr. abdul Rozak, M.Ag.-Dr. Rosihon Anwar, M.Ag.
hal;133 PT. Pustaka Setia, Cetakan Ke
IV. Februari,2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar