KYAI HAJI AHMAD DAHLAN PENDIRI MUHAMMADIYAH
Oleh: Moh. Elfan Falah
Kyai Haji Ahmad Dahlan, lahir dengan
nama Muhammad Darwisy tahun 1868 dilahirkan dari kedua orang tuanya, yaitu KH.
Abu Bakar (seorang ulama dan Khatib terkemuka di Mesjid Besar Kesultanan
Yogyakarta) dan Nyai Abu Bakar (puteri dari H. Ibrahim yang menjabat sebagai
penghulu kesultanan juga). Ia merupakan anak ke-empat dari tujuh orang
bersaudara yang keseluruhanya saudaranya perempuan, kecuali adik bungsunya.
Dalam silsilah ia termasuk keturunan yang kedua belas dari Maulana Malik
Ibrahim, seorang wali besar dan seorang yang terkemuka diantara Wali Songo,
yang merupakan pelopor pertama dari penyebaran dan pengembangan Islam di Tanah
Jawa (Kutojo dan Safwan, 1991). Adapun silsilahnya ialah Muhammad Darwisy (Ahmad
Dahlan) bin KH. Abu Bakar bin KH. Muhammad Sulaiman bin Kiyai Murtadla bin
Kiyai Ilyas bin Demang Djurung Djuru Kapindo bin Demang Djurung Djuru Sapisan
bin Maulana Sulaiman Ki Ageng Gribig (Djatinom) bin Maulana Muhammad
Fadlul’llah (Prapen) bin Maulana ‘Ainul Yaqin bin Maulana Ishaq bin Maulana
Malik Ibrahim (Yunus Salam, 1968: 6).
Pada usia 20 tahun (1888), ia
kembali ke kampungnya, dan berganti nama Ahmad Dahlan. Sepulangnya dari Makkah
ini, iapun diangkat menjadi khatib amin di lingkungan Kesultanan Yogyakarta.
Pada tahun 1902-1904, ia menunaikan ibadah haji untuk kedua kalinya yang
dilanjutkan dengan memperdalam ilmu agama kepada beberapa guru di Makkah.
Sepulang dari Makkah, ia menikah
dengan Siti Walidah, sepupunya sendiri, anak Kyai Penghulu Haji Fadhil, yang
kelak dikenal dengan Nyai Ahmad Dahlan, seorang Pahlawanan Nasional dan pendiri
Aisyiyah. Dari perkawinannya dengan Siti Walidah, KH. Ahmad Dahlan mendapat
enam orang anak yaitu Djohanah, Siradj Dahlan, Siti Busyro, Irfan Dahlan, Siti
Aisyah, Siti Zaharah (Kutojo dan Safwan, 1991). Di samping itu, KH. Ahmad
Dahlan pernah pula menikahi Nyai Abdullah, janda H. Abdullah. Ia juga pernah
menikahi Nyai Rum, adik Kyai Munawwir Krapyak. KH. Ahmad Dahlan juga mempunyai
putera dari perkawinannya dengan Ibu Nyai Aisyah (adik Adjengan Penghulu)
Cianjur yang bernama Dandanah. Beliau pernah pula menikah dengan Nyai Yasin
Pakualaman Yogyakarta (Yunus Salam, 1968: 9).
TINJAUAN
PEMIKIRAN KEAGAMAAN MUHAMMADIYAH
Sedikitnya ada dua pandangan yang agak bertolak belakang
tentang kehadiran Muhammadiyah seabad lalu. Yang pertama, jika menelusuri
kembali dokumen awal berdirinya Muhammadiyah, tak satupun yang menjelaskan
bahwa Muhammadiyah adalah gerakan tajdid
pemikiran keagamaan.
Argumen normatif yang sering dikemukakan adalah bahwa dalam
Anggaran Dasar pertama disebutkan bahwa maksud dan tujuan Muhammadiyah adalah
”menyebarkan pengajaran Kanjeng Nabi Muhammad kepada penduduk Bumiputra, di
dalam residensi Yogyakarta. Memajukan hal agama Islam kepada anggota-anggotanya.”
Rumusan ini menegaskan tentang identitas diri Muhammadiyah sebagai gerakan
dakwah amar ma’ruf nahi munkar.
Penegasan identitas diri inilah yang membedakan Muhammadiyah dengan gerakan
Islam semasanya yang umumnya mengikatkan diri pada orientasi ideologi keagamaan
tertentu sebagai gerakan reformis (Al-Irsyad), memberantas bid’ah, khurafat,
dan takhayul secara radikal (Persis), dan ahlus sunnah wal jamaah (NU)
(Federspiel, 2004).
Pandangan yang kedua mengatakan, Muhammadiyah lahir
berhadapan dengan kondisi sosial yang sangat timpang, antara lain ketimpangan
praktik dualisme pendidikan, yakni pendidikan Belanda yang sekular untuk kaum
priyayi dan anak-anak Belanda, di satu sisi, dan pendidikan pesantren yang
sangat tradisional untuk penduduk pribumi dan rakyat jelata, di sisi lain.
Tafsir sosial dilakukan KH Ahamd Dahlan pada masanya dengan cara melakukan
penerjemahan teks-teks al-Qur'an ke dalam praksis sosial. Barangkali, karena KH
Ahmad Dahlan tampaknya tidak banyak berteori, maka sementara pengamat menggolongkannya
sebagai man of action, bukan man of thought. Iman yang tampil
mengemuka dalam bentuk perbuatan bukan dalam konseptual teoritik. Namun
demikian, secara lebih mendasar, apa yang dilakukan oleh KH Ahmad Dahlan itu
bukan berarti tanpa refleksi kritis dan mendalam serta pijakan pemikiran yang
kokoh. Asumsinya, suatu tindakan yang sangat kuat berpengaruh dalam masyarakat
hampir pasti didahului oleh refleksi dan pembaruan pemikiran.
Menolak salah satu atau kedua pandangan tersebut sambil
mencari-cari dan menunjukkan fakta baru agaknya bukanlah pilihan tepat.
Lebih-lebih bila melihat perkembangan Muhammadiyah selama satu abad ini, dua
pandangan tersebut sama-sama menemukan korelasi, relevansi, dan dukungan fakta
baru. Oleh karena itu, meskipun tidak sepenuhnya dipengaruhi oleh pandangan
yang kedua, tulisan ini akan menunjukkan keabsahan Muhammadiyah sebagai gerakan
pembaruan pemikiran keagamaan Islam di Indonesia. Bahkan Muhammadiyah secara
internal mengalami dinamika yang sangat kompleks paralel dengan koteks zaman
yang menyertai.
AKAR TRADISI PEMBARUAN PEMIKIRAN
Pemikiran
keagamaan dalam Muhammadiyah mencakup dimensi-dimensi yang luas dan meliputi
tema-tema yang beragam. Dalam realitasnya, pemikiran keagamaan merupakan produk pemahaman yang dihasilkan
oleh kaum ulama atau pemikir Islam tentang masalah-masalah yang berkaitan
dengan keyakinan (aqidah) sebagai dimensi yang fundamental, atau
masalah-masalah ‘ibadah dan sosial kemasyarakatan (mu‘amalah), termasuk
politik. Lebih dari itu, pemikiran keagamaan juga mencakup prinsip-prinsip
metodologis yang digunakan untuk memahami dan menafsirkan ajaran Islam dalam
konteks historis dan sosial tertentu.
Pada periode awal setelah gerakan
ini berdiri para elite Muhammadiyah telah meletakkan dasar pemikiran keagamaan
yang kreatif liberatif, menurut konteks saat itu. Wawasan dasar keagamaan ini
menjadi unsur penting formulasi ideologi gerakan, yang memberikan landasan
untuk mengkritisi tatanan kehidupan yang ingin dirubah, merumuskan tujuan yang
ingin dicapai, membenarkan kebijakan dan langkah praktis guna mencapai tujuan.
Dasar pandangan ini telah mendorong munculnya semangat pembaruan ke dalam
berbagai aspek kehidupan dan menerima nilai-nilai modern seperti: perubahan,
rasionalitas, keteraturan, orientasi jangka panjang, rajin, kerja keras, tepat
waktu, hemat, dan lain sebagainya (Jainuri, 2002).
Secara internal, upaya revitalisasi
itu diwujudkan dengan mengaktualisasikan ajaran Islam dalam realitas kongkrit
kehidupan sosial-ekonomi. Salah satu landasan teologis yang dia gunakan adalah
Surat al-Ma’un. Pembaruan Islam yang cukup orisinal dari KH Ahmad Dahlan dapat
dirujuk pada pemahaman dan pengamalan Surat Al-Ma’un. Gagasan dan pelajaran
tentang Surat Al-Maun, merupakan contoh yang paling monumental dari pembaruan
yang berorientasi pada amal sosial-kesejahteraan, yang kemudian melahirkan
lembaga Penolong Kesengsaraan Oemoem (PKO). Langkah momumental ini dalam wacana
Islam kontemporer disebut dengan ”teologi transformatif”, karena Islam tidak
sekadar menjadi seperangkat ajaran ritual-ibadah semata, tetapi justru peduli
dan terlibat dalam memecahkan masalah-masalah konkret yang dihadapi manusia.
Langkah pembaruan lainnya ialah
dalam merintis pendidikan ”modern” yang memadukan pelajaran agama dan umum.
Menurut Kuntowijoyo, gagasan pendidikan yang dipelopori KH Ahmad Dahlan,
merupakan pembaruan karena mampu mengintegrasikan aspek ”iman” dan ”kemajuan”,
sehingga dihasilkan sosok generasi muslim terpelajar yang mampu hidup di zaman
modern tanpa terpecah kepribadiannya. Lembaga pendidikan Islam ”modern” bahkan
menjadi ciri utama kelahiran dan perkembangan Muhammadiyah, yang membedakannya
dari lembaga pondok pesantren kala itu. Pendidikan Islam “modern” itulah yang
di belakang hari diadopsi dan menjadi lembaga pendidikan umat Islam secara umum
(Kuntowijoyo,1998).
Adapun langkah pembaruan dalam
bidang doktriner adalah KH Ahmad Dahlan ingin membersihkan aqidah Islam dari
segala macam syirik, dalam bidang ibadah, membersihkan cara-cara ibadah dari
bid’ah, dalam bidang muamalah, membersihkan kepercayaan dari khurafat, serta
dalam bidang pemahaman terhadap ajaran Islam, ia merombak taklid untuk kemudian
memberikan kebebasan dalam berijtihad. Langkah ini pada masa lalu merupakan
gerak pembaruan yang sukses, yang mampu melahirkan generasi tercerahkan dan
terpelajar Muslim, yang jika diukur dengan keberhasilan umat Islam saat ini
tentu saja akan lain, karena konteksnya berbeda.
DAFTAR PUSTAKA
Jaenuri, Achmad, Ideologi Kaum Reformis, Melacak Pandangan Keagamaan
Muhammadiyah Periode Awal, (Surabaya: LPAM, 2002).
Kuntowijoyo, Muslim Tanpa Masjid, (Bandung: Mizan, 1998).
Federspiel, Howard M. Labirin Ideologi Muslim: Pencarian dan Pergulatan
Persis di Era Kemunculan Negara Indonesia 1923-1957, terj. Ruslani
Kurniawan Abdullah, Jakarta: Serambi, 2004.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar