Rabu, 26 Maret 2014

Sejarah Singkat KH Ahmad Dahlan Pendiri Muhammaiyah



KYAI HAJI AHMAD DAHLAN  PENDIRI MUHAMMADIYAH
Oleh: Moh. Elfan Falah
Kyai Haji Ahmad Dahlan, lahir dengan nama Muhammad Darwisy tahun 1868 dilahirkan dari kedua orang tuanya, yaitu KH. Abu Bakar (seorang ulama dan Khatib terkemuka di Mesjid Besar Kesultanan Yogyakarta) dan Nyai Abu Bakar (puteri dari H. Ibrahim yang menjabat sebagai penghulu kesultanan juga). Ia merupakan anak ke-empat dari tujuh orang bersaudara yang keseluruhanya saudaranya perempuan, kecuali adik bungsunya. Dalam silsilah ia termasuk keturunan yang kedua belas dari Maulana Malik Ibrahim, seorang wali besar dan seorang yang terkemuka diantara Wali Songo, yang merupakan pelopor pertama dari penyebaran dan pengembangan Islam di Tanah Jawa (Kutojo dan Safwan, 1991). Adapun silsilahnya ialah Muhammad Darwisy (Ahmad Dahlan) bin KH. Abu Bakar bin KH. Muhammad Sulaiman bin Kiyai Murtadla bin Kiyai Ilyas bin Demang Djurung Djuru Kapindo bin Demang Djurung Djuru Sapisan bin Maulana Sulaiman Ki Ageng Gribig (Djatinom) bin Maulana Muhammad Fadlul’llah (Prapen) bin Maulana ‘Ainul Yaqin bin Maulana Ishaq bin Maulana Malik Ibrahim (Yunus Salam, 1968: 6).
Pada usia 20 tahun (1888), ia kembali ke kampungnya, dan berganti nama Ahmad Dahlan. Sepulangnya dari Makkah ini, iapun diangkat menjadi khatib amin di lingkungan Kesultanan Yogyakarta. Pada tahun 1902-1904, ia menunaikan ibadah haji untuk kedua kalinya yang dilanjutkan dengan memperdalam ilmu agama kepada beberapa guru di Makkah.
Sepulang dari Makkah, ia menikah dengan Siti Walidah, sepupunya sendiri, anak Kyai Penghulu Haji Fadhil, yang kelak dikenal dengan Nyai Ahmad Dahlan, seorang Pahlawanan Nasional dan pendiri Aisyiyah. Dari perkawinannya dengan Siti Walidah, KH. Ahmad Dahlan mendapat enam orang anak yaitu Djohanah, Siradj Dahlan, Siti Busyro, Irfan Dahlan, Siti Aisyah, Siti Zaharah (Kutojo dan Safwan, 1991). Di samping itu, KH. Ahmad Dahlan pernah pula menikahi Nyai Abdullah, janda H. Abdullah. Ia juga pernah menikahi Nyai Rum, adik Kyai Munawwir Krapyak. KH. Ahmad Dahlan juga mempunyai putera dari perkawinannya dengan Ibu Nyai Aisyah (adik Adjengan Penghulu) Cianjur yang bernama Dandanah. Beliau pernah pula menikah dengan Nyai Yasin Pakualaman Yogyakarta (Yunus Salam, 1968: 9).

TINJAUAN PEMIKIRAN KEAGAMAAN MUHAMMADIYAH
Sedikitnya ada dua pandangan yang agak bertolak belakang tentang kehadiran Muhammadiyah seabad lalu. Yang pertama, jika menelusuri kembali dokumen awal berdirinya Muhammadiyah, tak satupun yang menjelaskan bahwa Muhammadiyah adalah gerakan tajdid pemikiran keagamaan.
Argumen normatif yang sering dikemukakan adalah bahwa dalam Anggaran Dasar pertama disebutkan bahwa maksud dan tujuan Muhammadiyah adalah ”menyebarkan pengajaran Kanjeng Nabi Muhammad kepada penduduk Bumiputra, di dalam residensi Yogyakarta. Memajukan hal agama Islam kepada anggota-anggotanya.” Rumusan ini menegaskan tentang identitas diri Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah amar ma’ruf nahi munkar. Penegasan identitas diri inilah yang membedakan Muhammadiyah dengan gerakan Islam semasanya yang umumnya mengikatkan diri pada orientasi ideologi keagamaan tertentu sebagai gerakan reformis (Al-Irsyad), memberantas bid’ah, khurafat, dan takhayul secara radikal (Persis), dan ahlus sunnah wal jamaah (NU) (Federspiel, 2004).
Pandangan yang kedua mengatakan, Muhammadiyah lahir berhadapan dengan kondisi sosial yang sangat timpang, antara lain ketimpangan praktik dualisme pendidikan, yakni pendidikan Belanda yang sekular untuk kaum priyayi dan anak-anak Belanda, di satu sisi, dan pendidikan pesantren yang sangat tradisional untuk penduduk pribumi dan rakyat jelata, di sisi lain. Tafsir sosial dilakukan KH Ahamd Dahlan pada masanya dengan cara melakukan penerjemahan teks-teks al-Qur'an ke dalam praksis sosial. Barangkali, karena KH Ahmad Dahlan tampaknya tidak banyak berteori, maka sementara pengamat menggolongkannya sebagai man of action, bukan man of thought. Iman yang tampil mengemuka dalam bentuk perbuatan bukan dalam konseptual teoritik. Namun demikian, secara lebih mendasar, apa yang dilakukan oleh KH Ahmad Dahlan itu bukan berarti tanpa refleksi kritis dan mendalam serta pijakan pemikiran yang kokoh. Asumsinya, suatu tindakan yang sangat kuat berpengaruh dalam masyarakat hampir pasti didahului oleh refleksi dan pembaruan pemikiran.
Menolak salah satu atau kedua pandangan tersebut sambil mencari-cari dan menunjukkan fakta baru agaknya bukanlah pilihan tepat. Lebih-lebih bila melihat perkembangan Muhammadiyah selama satu abad ini, dua pandangan tersebut sama-sama menemukan korelasi, relevansi, dan dukungan fakta baru. Oleh karena itu, meskipun tidak sepenuhnya dipengaruhi oleh pandangan yang kedua, tulisan ini akan menunjukkan keabsahan Muhammadiyah sebagai gerakan pembaruan pemikiran keagamaan Islam di Indonesia. Bahkan Muhammadiyah secara internal mengalami dinamika yang sangat kompleks paralel dengan koteks zaman yang menyertai.

AKAR TRADISI PEMBARUAN PEMIKIRAN
            Pemikiran keagamaan dalam Muhammadiyah mencakup dimensi-dimensi yang luas dan meliputi tema-tema yang beragam. Dalam realitasnya, pemikiran  keagamaan merupakan produk pemahaman yang dihasilkan oleh kaum ulama atau pemikir Islam tentang masalah-masalah yang berkaitan dengan keyakinan (aqidah) sebagai dimensi yang fundamental, atau masalah-masalah ‘ibadah dan sosial kemasyarakatan (mu‘amalah), termasuk politik. Lebih dari itu, pemikiran keagamaan juga mencakup prinsip-prinsip metodologis yang digunakan untuk memahami dan menafsirkan ajaran Islam dalam konteks historis dan sosial tertentu.
Pada periode awal setelah gerakan ini berdiri para elite Muhammadiyah telah meletakkan dasar pemikiran keagamaan yang kreatif liberatif, menurut konteks saat itu. Wawasan dasar keagamaan ini menjadi unsur penting formulasi ideologi gerakan, yang memberikan landasan untuk mengkritisi tatanan kehidupan yang ingin dirubah, merumuskan tujuan yang ingin dicapai, membenarkan kebijakan dan langkah praktis guna mencapai tujuan. Dasar pandangan ini telah mendorong munculnya semangat pembaruan ke dalam berbagai aspek kehidupan dan menerima nilai-nilai modern seperti: perubahan, rasionalitas, keteraturan, orientasi jangka panjang, rajin, kerja keras, tepat waktu, hemat, dan lain sebagainya (Jainuri, 2002).
Secara internal, upaya revitalisasi itu diwujudkan dengan mengaktualisasikan ajaran Islam dalam realitas kongkrit kehidupan sosial-ekonomi. Salah satu landasan teologis yang dia gunakan adalah Surat al-Ma’un. Pembaruan Islam yang cukup orisinal dari KH Ahmad Dahlan dapat dirujuk pada pemahaman dan pengamalan Surat Al-Ma’un. Gagasan dan pelajaran tentang Surat Al-Maun, merupakan contoh yang paling monumental dari pembaruan yang berorientasi pada amal sosial-kesejahteraan, yang kemudian melahirkan lembaga Penolong Kesengsaraan Oemoem (PKO). Langkah momumental ini dalam wacana Islam kontemporer disebut dengan ”teologi transformatif”, karena Islam tidak sekadar menjadi seperangkat ajaran ritual-ibadah semata, tetapi justru peduli dan terlibat dalam memecahkan masalah-masalah konkret yang dihadapi manusia.
Langkah pembaruan lainnya ialah dalam merintis pendidikan ”modern” yang memadukan pelajaran agama dan umum. Menurut Kuntowijoyo, gagasan pendidikan yang dipelopori KH Ahmad Dahlan, merupakan pembaruan karena mampu mengintegrasikan aspek ”iman” dan ”kemajuan”, sehingga dihasilkan sosok generasi muslim terpelajar yang mampu hidup di zaman modern tanpa terpecah kepribadiannya. Lembaga pendidikan Islam ”modern” bahkan menjadi ciri utama kelahiran dan perkembangan Muhammadiyah, yang membedakannya dari lembaga pondok pesantren kala itu. Pendidikan Islam “modern” itulah yang di belakang hari diadopsi dan menjadi lembaga pendidikan umat Islam secara umum (Kuntowijoyo,1998).
Adapun langkah pembaruan dalam bidang doktriner adalah KH Ahmad Dahlan ingin membersihkan aqidah Islam dari segala macam syirik, dalam bidang ibadah, membersihkan cara-cara ibadah dari bid’ah, dalam bidang muamalah, membersihkan kepercayaan dari khurafat, serta dalam bidang pemahaman terhadap ajaran Islam, ia merombak taklid untuk kemudian memberikan kebebasan dalam berijtihad. Langkah ini pada masa lalu merupakan gerak pembaruan yang sukses, yang mampu melahirkan generasi tercerahkan dan terpelajar Muslim, yang jika diukur dengan keberhasilan umat Islam saat ini tentu saja akan lain, karena konteksnya berbeda. 
DAFTAR PUSTAKA
Jaenuri, Achmad, Ideologi Kaum Reformis, Melacak Pandangan Keagamaan Muhammadiyah Periode Awal, (Surabaya: LPAM, 2002).
Kuntowijoyo, Muslim Tanpa Masjid, (Bandung: Mizan, 1998).
Federspiel, Howard M. Labirin Ideologi Muslim: Pencarian dan Pergulatan Persis di Era Kemunculan Negara Indonesia 1923-1957, terj. Ruslani Kurniawan Abdullah, Jakarta: Serambi, 2004.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar