SEJARAH
MUNCULNYA TASAWUF DAN SUFI
Mah. Elfan Falah
Tasawuf (تَصَوُّف) diidentikkan dengan sikap berlebihan dalam beribadah, zuhud
dan wara’ terhadap dunia. Pelakunya disebut Shufi
(selanjutnya ditulis Sufi menurut ejaan yang lazim, red) (صُوْفِيٌّ), dan jamaknya adalah Sufiyyah (صُوْفِيَّةٌ). Istilah ini sesungguhnya tidak
masyhur di jaman Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam,
shahabat-shahabatnya, dan para tabi’in. Sebagaimana dikatakan Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyyah: “Adapun lafadz Sufiyyah
bukanlah lafadz yang masyhur pada tiga abad pertama Islam. Dan setelah
masa itu, penyebutannya menjadi masyhur.” (Majmu’ Fatawa, 11/5)
Bashrah, sebuah kota di Irak, merupakan tempat kelahiran Tasawuf dan Sufi.
Di mana sebagian ahli ibadahnya mulai berlebihan dalam beribadah, zuhud, dan
wara’ terhadap dunia (dengan cara yang belum pernah dicontohkan oleh Rasulullah
Shallallaahu ‘alaihi wasallam), hingga akhirnya memilih untuk mengenakan
pakaian yang terbuat dari bulu domba
(Shuf/صُوْفٌ ).
Meski kelompok ini tidak mewajibkan
tarekatnya dengan pakaian semacam itu, namun atas dasar inilah mereka disebut
dengan “Sufi”, sebagai nisbat kepada Shuf (صُوْفٌ). Jadi, lafadz Sufi bukanlah nisbat kepada Ahlush
Shuffah yang ada di jaman Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam, karena
nisbat kepadanya adalah Shuffi (صُفِّيٌ). Bukan pula nisbat kepada
shaf terdepan di hadapan Allah Subhaanahu wa Ta’ala , karena nisbat kepadanya
adalah Shaffi (صَفِّيٌ).
Demikian juga bukan nisbat kepada makhluk pilihan Allah الصَّفْوَةُ مِنْ خَلْقِ اللهِ
Demikian juga bukan nisbat kepada makhluk pilihan Allah الصَّفْوَةُ مِنْ خَلْقِ اللهِ
karena nisbat adalah Shafawi ز(صَفَوِيٌّ) . Dan bukan
pula nisbat kepada Shufah bin Bisyr (salah satu suku Arab) meski secara lafadz
bisa dibenarkan. Namun secara makna sangatlah lemah, karena antara suku
tersebut dengan kelompok Sufi
tidak berkaitan sama sekali.
Para ulama Bashrah yang mengalami masa kemunculan kelompok sufi, tidaklah tinggal diam. Sebagaimana diriwayatkan Abu Asy-Syaikh Al-Ashbahani rahimahullah dengan sanadnya dari Muhammad bin Sirin rahimahullah, bahwasanya telah sampai kepadanya berita tentang orang-orang yang mengutamakan pakaian yang terbuat dari bulu domba. Maka beliau berkata: “Sesungguhnya ada orang-orang yang mengutamakan pakaian yang terbuat dari bulu domba dengan alasan untuk meneladani Al-Masih bin Maryam! Maka petunjuk Nabi kita lebih kita cintai, beliau Shallallaahu ‘alaihi wasallam biasa mengenakan pakaian yang terbuat dari bahan katun, dan yang selainnya.” (Diringkas dari Majmu’ Fatawa, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah hal. 5, 6, 16) Asy-Syaikh Muhammad Aman bin ‘Ali Al-Jami rahimahullah berkata: “Demikianlah munculnya jahiliah Tasawuf, dan dari kota inilah (Bashrah) ia tersebar.” (At-Tasawuf Min Shuwaril Jahiliah, hal. 5)
Para ulama Bashrah yang mengalami masa kemunculan kelompok sufi, tidaklah tinggal diam. Sebagaimana diriwayatkan Abu Asy-Syaikh Al-Ashbahani rahimahullah dengan sanadnya dari Muhammad bin Sirin rahimahullah, bahwasanya telah sampai kepadanya berita tentang orang-orang yang mengutamakan pakaian yang terbuat dari bulu domba. Maka beliau berkata: “Sesungguhnya ada orang-orang yang mengutamakan pakaian yang terbuat dari bulu domba dengan alasan untuk meneladani Al-Masih bin Maryam! Maka petunjuk Nabi kita lebih kita cintai, beliau Shallallaahu ‘alaihi wasallam biasa mengenakan pakaian yang terbuat dari bahan katun, dan yang selainnya.” (Diringkas dari Majmu’ Fatawa, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah hal. 5, 6, 16) Asy-Syaikh Muhammad Aman bin ‘Ali Al-Jami rahimahullah berkata: “Demikianlah munculnya jahiliah Tasawuf, dan dari kota inilah (Bashrah) ia tersebar.” (At-Tasawuf Min Shuwaril Jahiliah, hal. 5)
SIAPAKAH
PELETAK ILMU TASAWUF?
Ibnu
‘Ajibah, seorang Sufi Fathimi, mengklaim bahwa peletak ilmu Tasawuf adalah Rasulullah
Shallallaahu ‘alaihi wasallam sendiri. Beliau Shallallaahu ‘alaihi wasallam,
menurut Ibnu ‘Ajibah, mendapatkannya dari Allah Subhaanahu wa Ta’ala melalui
wahyu dan ilham. Kemudian Ibnu ‘Ajibah berbicara panjang lebar tentang hal ini
dengan sekian banyak bumbu keanehan dan kedustaan, yaitu: “Jibril pertama kali
turun kepada Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam dengan membawa ilmu
syariat. Dan ketika ilmu itu telah mantap, maka turunlah ia untuk kedua kalinya
dengan membawa ilmu hakikat. Beliau Shallallaahu ‘alaihi wasallam pun
mengajarkan ilmu hakikat ini pada orang-orang khusus saja. Dan yang pertama kali menyampaikan Tasawuf adalah ‘Ali
bin Abi Thalib Radhiyallaahu ‘anhu, dan Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah menimba
darinya.” (Iqazhul Himam Fi Syarhil Hikam, hal. 5 dinukil dari
At-Tasawuf Min Shuwaril Jahiliyah, hal. 8)
Asy-Syaikh Muhammad Aman bin ‘Ali
Al-Jami rahimahullah berkata: “Perkataan Ibnu ‘Ajibah ini merupakan tuduhan
keji lagi lancang terhadap Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam. Dengan
kedustaan, ia telah menuduh bahwa beliau Shallallaahu ‘alaihi
wasallam menyembunyikan kebenaran. Dan tidaklah seseorang menuduh Nabi
dengan tuduhan tersebut, kecuali seorang zindiq yang keluar dari Islam dan
berusaha untuk memalingkan manusia dari Islam jika ia mampu. Karena Allah
Subhaanahu wa Ta’ala telah perintahkan Rasul-Nya Shallallaahu ‘alaihi wasallam
untuk menyampaikan kebenaran tersebut dalam firman-Nya :
يَآءَيُّهَا الرَّسُولُ بَلِّغْ مَآ أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِن رَبِّكَ وَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَمَا بَلَّغْتَ رِسَالَتَه
يَآءَيُّهَا الرَّسُولُ بَلِّغْ مَآ أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِن رَبِّكَ وَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَمَا بَلَّغْتَ رِسَالَتَه
“Wahai
Rasul sampaikanlah apa yang telah diturunkan kepadamu oleh Rabbmu. Dan jika
engkau tidak melakukannya, maka engkau tidak menyampaikan risalah-Nya.” (Al
Maidah: 67)
Beliau juga berkata: “Adapun pengkhususan Ahlul Bait dengan sesuatu dari ilmu dan agama, maka ini merupakan pemikiran yang diwarisi orang-orang Sufi dari pemimpin-pemimpin mereka (Syi’ah). Dan benar-benar ‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallaahu ‘anhu sendiri yang membantahnya, sebagaimana diriwayatkan Al-Imam Muslim rahimahullah dari hadits Abu Thufail ‘Amir .tbin Watsilah
Beliau juga berkata: “Adapun pengkhususan Ahlul Bait dengan sesuatu dari ilmu dan agama, maka ini merupakan pemikiran yang diwarisi orang-orang Sufi dari pemimpin-pemimpin mereka (Syi’ah). Dan benar-benar ‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallaahu ‘anhu sendiri yang membantahnya, sebagaimana diriwayatkan Al-Imam Muslim rahimahullah dari hadits Abu Thufail ‘Amir .tbin Watsilah
Ia berkata: “Suatu saat aku pernah
berada di sisi ‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallaahu ‘anhu. Maka datanglah seorang
laki-laki seraya berkata: ‘Apa yang pernah dirahasiakan oleh Nabi Shallallaahu
‘alaihi wasallam kepadamu?’ Maka Ali pun marah lalu mengatakan: ‘Nabi
Shallallaahu ‘alaihi wasallam belum pernah merahasiakan sesuatu kepadaku yang
tidak disampaikan kepada manusia! Hanya saja beliau Shallallaahu ‘alaihi
wasallam pernah memberitahukan kepadaku tentang empat perkara.’ Abu Thufail
Radhiyallaahu ‘anhu berkata: ‘Apa empat perkara itu wahai Amirul
Mukminin?’ Beliau menjawab: ‘Rasulullah
Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda: “(Artinya) Allah melaknat seseorang
yang melaknat kedua orang tuanya, Allah melaknat seorang yang menyembelih untuk
selain Allah, Allah melaknat seorang yang melindungi pelaku kejahatan, dan
Allah melaknat seorang yang mengubah tanda batas tanah’.”
(At-Tasawuf Min Shuwaril Jahiliah, hal. 7-8)
HAKIKAT
TASAWUF
Dari bahasan di atas, Tasawuf jelas
bukan ajaran Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam dan bukan pula ilmu warisan dari ‘Ali bin Abi
Thalib Radhiyallaahu ‘anhu. Lalu dari manakah ajaran Tasawuf ini?
Asy-Syaikh Ihsan Ilahi Zhahir rahimahullah berkata: “Ketika kita telusuri ajaran Sufi periode pertama dan terakhir, dan juga perkataan-perkataan mereka baik yang keluar dari lisan atau pun yang terdapat di dalam buku-buku terdahulu dan terkini mereka, maka kita dapati sangat berbeda dengan ajaran Al Qur’an dan As Sunnah. Dan kita tidak pernah melihat asal usul ajaran Sufi ini di dalam sejarah pemimpin umat manusia Muhammad Shallallaahu ‘alaihi wasallam, dan para shahabatnya yang mulia lagi baik, yang mereka adalah makhluk-makhluk pilihan Allah Subhaanahu Wa Ta’ala di alam semesta ini. Bahkan sebaliknya, kita melihat bahwa ajaran Sufi ini diambil dan diwarisi dari kerahiban Nashrani, Brahma Hindu, ibadah Yahudi, dan zuhud Budha.” (At-Tasawuf Al-Mansya’ Wal Mashadir, hal. 28) Asy-Syaikh Abdurrahman Al-Wakil rahimahullah berkata: “Sesungguhnya Tasawuf merupakan tipu daya setan yang paling tercela lagi hina untuk menggiring hamba-hamba Allah Subhaanahu wa Ta’ala di dalam memerangi Allah Subhaanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallaahu ‘alaihi wasallam. Sesungguhnya ia (Tasawuf) merupakan topeng bagi Majusi agar tampak sebagai seorang Rabbani, bahkan ia sebagai topeng bagi setiap musuh (Sufi) di dalam memerangi agama yang benar ini. Periksalah ajarannya! Niscaya engkau akan mendapati di dalamnya ajaran Brahma (Hindu), Buddha, Zaradisytiyyah, Manawiyyah, Dishaniyyah, Aplatoniyyah, Ghanushiyyah, Yahudi, Nashrani, dan Berhalaisme Jahiliyyah.” (Muqaddimah kitab Mashra’ut Tasawuf, hal. 19)
Asy-Syaikh Ihsan Ilahi Zhahir rahimahullah berkata: “Ketika kita telusuri ajaran Sufi periode pertama dan terakhir, dan juga perkataan-perkataan mereka baik yang keluar dari lisan atau pun yang terdapat di dalam buku-buku terdahulu dan terkini mereka, maka kita dapati sangat berbeda dengan ajaran Al Qur’an dan As Sunnah. Dan kita tidak pernah melihat asal usul ajaran Sufi ini di dalam sejarah pemimpin umat manusia Muhammad Shallallaahu ‘alaihi wasallam, dan para shahabatnya yang mulia lagi baik, yang mereka adalah makhluk-makhluk pilihan Allah Subhaanahu Wa Ta’ala di alam semesta ini. Bahkan sebaliknya, kita melihat bahwa ajaran Sufi ini diambil dan diwarisi dari kerahiban Nashrani, Brahma Hindu, ibadah Yahudi, dan zuhud Budha.” (At-Tasawuf Al-Mansya’ Wal Mashadir, hal. 28) Asy-Syaikh Abdurrahman Al-Wakil rahimahullah berkata: “Sesungguhnya Tasawuf merupakan tipu daya setan yang paling tercela lagi hina untuk menggiring hamba-hamba Allah Subhaanahu wa Ta’ala di dalam memerangi Allah Subhaanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallaahu ‘alaihi wasallam. Sesungguhnya ia (Tasawuf) merupakan topeng bagi Majusi agar tampak sebagai seorang Rabbani, bahkan ia sebagai topeng bagi setiap musuh (Sufi) di dalam memerangi agama yang benar ini. Periksalah ajarannya! Niscaya engkau akan mendapati di dalamnya ajaran Brahma (Hindu), Buddha, Zaradisytiyyah, Manawiyyah, Dishaniyyah, Aplatoniyyah, Ghanushiyyah, Yahudi, Nashrani, dan Berhalaisme Jahiliyyah.” (Muqaddimah kitab Mashra’ut Tasawuf, hal. 19)
Keterangan para ulama di atas
menunjukkan bahwasanya ajaran Tasawuf bukanlah dari Islam. Bahkan ajaran ini
merupakan kumpulan dari ajaran-ajaran sesat yang berusaha disusupkan ke
tengah-tengah umat untuk menjauhkan mereka dari agama Islam yang benar.[1]
A.
PENGERTIAN TASAWUF
Kata sufi
mulanya muncul pada abad ke-9. Asal usul kata ini dibahas oleh hujwiri pada
abad ke-11. Ia mengemukakan nama itu mungkin berasal dari kata shuf (yang
berarti wol), karena kaum sufi memakai busana wol. Atau dari ahli suffah, nama
yang dilekatkan pada orang-orang yang tinggal diberanda masjid Nabi Muhamad.
Atau dari shaft (yang berarti kesucian). Nabi Muhamad menyatakan “Barang siapa
mengenal dirinya, maka ia mengenal penciptanya”. Tasawuf adalah jalan kembali
kekeadaan azali manusia, jalan yang ditempuh untuk menemukan makna dan tujuan,
untuk mencapai ketenangan dan kehidupan abadi, jalan yang ditempuh orang untuk
bisa pulang kerumah. Dalam literatur barat, tasawuf sering disebut mistisme
Islam. Sebab ia adalah jalan bagi pengalaman pribadi tentang cinta ilahi dan ia
mencakup pemahaman ektase yang dikenal dengan mistis. Tasawuf berarti mengalami
dan menghayati realitas agama, penemuan dan realitas yang dicanangkan oleh
semua Nabi. Semua orang di karuniai potensi untuk menemukan rahasia kehidupan
ini. Pengalaman tidak bisa dicapai melalui nalar dan logika, melainkan harus
datang dari lubuk hati terdalam. Tasawuf adalah Islam, karena Islam berarti berserah
diri kepada Tuhan, dan tujuan Tasawuf adalah berserah diri kepada Tuhan, syarat
untuk mencapai penyatuan dengan Tuhan sang kekasih.
Selanjutnya berbgai pendapat mengenai definisi tassawuf kami
kemukakan sebagai berikut :
1.Syekh Junaid Al Bagdad :
Tassawuf : ialah hendaknya keadaanmu beserta ALLOH tanpa ada
perantara
2. Syekh Ma’ruf Al Karokhi :
Tassawuf adalah mencari hakekat dan meninggalkan dari
segalasesuatu yang ada pada tangan makhluq.
3.Dzunnun Al Misri :
Tassawuf adalah tidak payah karena mencari dan tidak susah
musnahnya milik.
4.Sahal At Tastury
Suffi adalah orang yang bersih dari kotoran dan penuh
pemikiran dan hanya memusatkan pada ALLOH semata tanpa manusia, dan sama
baginya harta benda dengan tanah liat.
5. Prof.DR.HAMKA
Tassawuf adalah membersihkan jiwa dari pengaruh benda atau
alam supaya dia mudah menuju kepada TUHAN.
Dari beberapa difinisi tersebut dapat disimpulkan :pada
dasarnya Tassawuf adalah laku mendekatkan diri dari hamba kepada
TUHANnya,dengan cara mensucikan diri melalui ibadah ibadah, meninggalkan sifat
tercela dan menghiasi dengan sifat terpuji,sehingga mendapatkan kedudukan yang
mulia disisi ALLOH.[2]
A.
HUBUNGAN TASAWUF DENGAN ILMU KALAM
Ilmu kalam adalah disiplin ilmu keIslaman yang banyak mengedepankan pembicaraan
tentang persoalan-persoalan kalam Tuhan. Persoalan-persoalan kalam ini biasanya
mengarah sampai pada perbincangan yang mendalam dengan dasar-dasar argumentasi,
baik rasional (aqliyah) maupun naqliyah. Argumentasi yang dimaksudkan adalah
landasan pemahaman yang cenderung menggunakan metode berpikir filosofis,
sedangkan argumentasi naqliyah biasanya bertendensi pada argumentasi berupa
dalil-dalil Al-Qur’an dan hadits. Pembicaraan materi-materi yang tercakup dalam
ilmu kalam terkesan tidak menyentuh rasa rohaniah. Sebagai contoh, ilmu kalam
menerangkan bahwa Allah bersifat Sama’, Bashar, Kalam, Iradah, Qudrah, Hayat,
dan sebagainya. Namun, ilmu kalam tidak menjelaskan bagaimana seorang hamba
dapat merasakan langsung bahwa Allah mendengar dan melihatnya, bagaimana pula
perasaan hati seseorang ketika membaca Al-Qur’an, bagaimana seseorang merasa
bahwa segala sesuatu yang tercipta merupakan pengaruh dari kekuasaan Allah
?
Pernyataan-pernyataan diatas sulit terjawab hanya dengan berlandaskan pada ilmu
kalam. Biasanya, yang membicarakan penghayatan sampai pada penanaman kejiwaan
manusia adalah ilmu Tasawuf. Disiplin inilah yang membahas bagaimana merasakan
nilai-nilai akidah dengan memperhatikan bahwa persoalan bagaimana merasakan
tidak saja termasuk dalam lingkup hal yang diwajibkan. Pada ilmu kalam
ditemukan pembahasan iman dan definisinya, kekufuran dan manifestasinya, serta
kemunafikan dan batasannya. Sementara pada ilmu tasawuf ditemukan pembahasan
jalan atau metode praktis untuk merasakan keyakinan dan ketentraman.
Sebagaimana dijelaskan juga tentang menyelamatkan diri dari kemunafikan. Semua
itu tidak cukup hanya diketahui batasan-batasannya oleh seseorang. Sebab
terkadang seseorang sudah tahu batasan-batasan kemunafikan, tetapi tetap saja melaksanakannya.
Dalam kaitannya dengan ilmu kalam, ilmu Tasawuf mempunyai fungsi sebagai
berikut.
1. Sebagai
pemberi wawasan spiritual dalam pemahaman kalam. Penghayatan yang
mendalam lewat hati terhadap ilmu kalam menjadikan ilmu ini lebih terhayati
atau teraplikasikan dalam perilaku. Dengan demikian, ilmu Tasawuf merupakan
penyempurna ilmu kalam.
- Berfungsi sebagai pengendali ilmu Tasawuf. Oleh karena itu, jika timbul suatu aliran yang bertentangan dengan akidah, atau lahir suatu kepercayaan baru yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah, hal itu merupakan penyimpangan atau penyelewengan. Jika bertentangan atau tidak pernah diriwayatkan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, atau belum pernah diriwayatkan oleh ulama-ulama salaf, hal itu harus ditolak.
- Berfungsi sebagai pemberi kesadaran rohaniah dalam perdebatan-perdebatan kalam. Sebagaimana disebutkan bahwa ilmu kalam dalam dunia Islam cenderung menjadi sebuah ilmu yang mengandung muatan rasional disamping muatan naqliyah, ilmu kalam dapat bergerak kearah yang lebih bebas. Disinilah ilmu Tasawuf berfungsi memberi muatan rohaniah sehingga ilmu kalam terkesan sebagai dialektika keIslaman belaka, yang kering dari kesadaran penghayatan atau sentuhan hati.
Andaikata
manusia sadar bahwa Allahlah yang memberi, niscaya rasa hasud dan dengki akan
sirna, kalau saja dia tahu kedudukan penghambaan diri, niscaya tidak akan ada
rasa sombong dan membanggakan diri. Kalau saja manusia sadar bahwa Allahlah
pencipta segala sesuatu, niscaya tidak akan ada sifat ujub dan riya. Dari
sinilah dapat dilihat bahwa ilmu tauhid merupakan jenjang pertama dalam
pendakian menuju Allah (pendakian para kaum sufi). Dalam ilmu Tasawuf, semua
persoalan yang berada dalam kajian ilmu kalam terasa lebih bermakna, tidak
kaku, tetapi akan lebih dinamis dan aplikatif.
B.
SUMBER TASAWUF
Dalam kitab Perkembangan Tassawuf Dari Abad ke Abad
Prof.DR.HAMKA menyimpulkan:”Tassawuf islam tumbuh sejak tumbuhnya agama islam
itu sendiri.Bertumbuh didalam jiwa pendiri islam itu sendiri,yaitu nabi Muhammad
saw.Disauk airnya dari dalam AL Qur’an.
Syekh Ahmad bin Muhammad bin ‘Ajibah al Hasani ,mengatakan :
Ilmu Tassawuf bersumber dari Al Qur’an, Sunnah, Ilham orang orang salih dan
riwayat dari para ‘arif.
Beberapa ayat Al Qur’an sebagi landasan Tassawuf sebagai
berikut :
1.Qur’an 3 ;Surat Al Imron 31
Katakanlah ; Jika kamu mencintai ALLOH, ikutilah aku,niscaya
ALLOH mencintaimu dan mengampuni dosa dosamu ALLOH maha pengampun maha
penyayang.”
2.Al Qur’an 33:Al Ahzab :41 – 42
“Hai orang orang beriman berdzikirlah
( dengan menyebut nama ALLOH ),dzikir sebanyak sebanyaknya, dan bertasbihlah
kepadaNYA diwaktu pagi dan petang.”
3.Al Qur’an 2:Al Baqoroh ;186
“ Dan apabila hambaku hambaku bertanya kepadamu tentang
AKU maka ( jawablah ),AKU adalah dekat.AKU mengabulkan permohonan orang yang
berdoa apabila ia berdo’a kepadaKU.Maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala
perintahku ) dan hendaklah mereka beriman kepadaKU, agarmereka memperoleh
kebenaran “.
4.Al Qur’an2:Albaqoroh ;115
“ Timur dan barat adalah kepunyaan ALLOH, kemana saja
kamu berpaling disitu ada wajah ALLOH sungguh.Alloh maha luas maha mengetahui
“.
5.AlQur’an 50: Qof: 16
“ Dan sesungguhnya KAMI telah
menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikan oleh hatinya,dan Kami
lebih dekat kepadanya dari pada urat lehernya .“[3]
C.
HUBUNGAN TASAWUF DENGAN ILMU
FALSAFAH
Biasanya Tasawuf dan filsafah selalu
dipandang berlawanan. Ada juga anggapan bahwa pencarian jalan Tasawuf
mengharuskan pencelaan filsafat, tidak hanya berupa timbal balik dan saling
mempengaruhi, bahkan asimilasi (perpaduan) dan hubungan ini sama sekali tidak
terbatas pada kebencian dan permusuhan. Tasawuf adalah pencarian jalan ruhani,
kebersatuan dengan kebenaran mutlak dan pengetahuan mistik menurut jalan dan
sunnah. Sedangkan filsafah tidak dimaksudkan hanya filsafah peripatetic yang
rasionalistik, tetapi seluruh mazhab intelektual dalam kultur Islam yang telah
berusaha mencapai pengetahuan mengenai sebab awal melalui daya intelek.
Filsafat terdiri dari filsafat diskursif (bahtsi) maupun intelek intuitif
(dzawqi).
Hubungan antara Tasawuf dan
filsafat, yaitu :
- Bentuk hubungan yang paling luas antara Tasawuf dan filsafat tentu saja adalah pertentangan satu sama lain, sebagaimana tampak dalam karya-karya al-Ghazali bersaudara, Abu hamid dan Ahmad. Dan penyair sufi besar seperti Sana’I, Athar, dan Rumi. Kelompok sufi ini hanya memperhatikan aspek rasional dari filsafat, dan setiap kali berbicara tentang intelek, mereka tidak mengartikan intelek dalam arti mutlaknya, namun mengacu kepada aspek rasional intelek (akal). Athar juga memahami filsafat hanya sebagai filsafat peripatetic yang rasionalistik, dan menekankan bahwa hal itu tidak boleh dikelirukan dengan misteri ilahiah dan pengetahuan ilahiah, yang merupakan usaha puncak pensucian jiwa dibawah bimbingan spiritual para guru sufi. Intelek tidak sama dengan hadist Nabi dan falsafah tidak sama dengan teosofi (hikmah) dalam makna Qur’aninya. Matsnawi adalah sebuah Masterpiece filsafat.
- Hubungan antara Tasawuf dan filsafat tampak dalam munculnya bentuk khusus yang terjalin erat dengan filsafat. Meskipun bentuk tasawuf ini tidak menerima filsafat peripatetic dan mazhab-mazhab filsafat lain yang seperti itu, namun ia sendiri tercampur dengan filsafat atau teosofi (hikmah) dalam bentuknya yang paling luas. Dalam mazhab Tasawuf itu, intelek sebagai alat untuk mencapai realitas tentang yang mutlak dengan memperoleh kedudukan yang tinggi. Dengan demikian, dalam tasawuf berkembang satu jenis teosofi (ilmu ilahi) yang tidak hanya datang untuk menggantikan filsafat didunia Arab, tapi di Persia ia juga amat mempengaruhi jika bukan menggantikan filsafat dan kemudian secara amat efektif menggabungkan filsafat dan Tasawuf, bahkan mengganti nama Tasawuf menjadi Irfan (gnosis,makrifat) pada periode safawi. Penentangan terhadap filsafat masih tetap tampak, tapi penentangan ini sebenarnya muncul dalam kaitannya dengan istilah falsafah dan rasionalisme. Hubungan Tasawuf dan filsafah berbeda dari apa yang diamati dalam tasawuf yang didominasi cinta, seperti pada Athar dan lainnya.
- Hubungan antara Tasawuf dan filsafat ditemukan dalam karya-karya para sufi yang sekaligus juga filosof, Yang telah berusaha untuk merujuk tasawuf dan filsafat. Afdhaluddin kasyani, Quthbuddin syirazi, Ibd Turkah al-Isfahani, dan Mir Abul Qosim findiriski, orang-orang ini seluruhnya adalah sufi yang berjalan pada jalan spiritual dan telah mencapai maqam spiritual, dan beberapa diantara mereka terdapat para wali, tetapi pada saat yang sama secara mendalam memahami filsafat dan cukup mengherankan, beberapa diantara mereka lebih tertarik pada filsafat peripatetic dan rasionalistik daripada filsafat intuitif (dzawqi), sebagaimana dapat diamati dalam kasus Mir Findiriski yang amat mendalami As-Syifanya Ibnu Sina. Diantara kelompok ini, Afdhaluddin Kasyani memegang kedudukan yang unik. Ia tidak hanya salah satu sufi terbesar yang hingga hari ini mouseleumnya di Maqam Kasyani menjadi tempat Ziarah, baik orang-orang yang awam maupun orang-orang terpelajar, tetapi ia juga dianggap sebagai salah satu filosof Persia terbesar yang sumbangannya bagi pengembangan bahasa filsafat Persia tak tertandingi. Karya-karya filsafatnya dalam logika, teologi, ataupun dalam ilmu-ilmu alam ditulis dalam bahasa Persia yang jelas dan fasih, dan merupakan Masterpiece dalam bahasa ini. Ia tidak hanya menunjukkan dengan jelas wawasan tasawuf dalam syair-syairnya, namun dalam hal logika dan filsafat yang paling ketat sekalipun. Figur besar lain seperti Quthbuddin al-Syirazi, yang dalam masa remajanya bergabung dengan para sufi dan juga menulis karya besar dalam filsafat peripatetic dalam bahasa Persia, Durrat al-Tajj, lalu bin Turkah Isfahani, yang Tamhid al-Qawaidnya merupakan Masterpiece filsafat sekaligus Tasawuf, dan Mir Abul Qosim Findiriski, yang menjadi komentator karya metafisika Hindu penting, Yoga Vaisithsa adalah sufi dan ahli makrifat yang kepadanya banyak mukjizat dinisbatkan. Mereka semua sesungguhnya adalah para pengikut mazhab Afdhluddin Kasyani, sejauh menyangkut upaya pemantapan hubungan antara Tasawuf dan Filsafat.
- Kategorisasi umum kita mengenai hubungan Tasawuf dengan filsafat, mencakup para filosof yang mempelajari atau mempraktekan Tasawuf. Yang pertama dari kelompok ini adalah Al-Farabi, yang mempraktekan Tasawuf dan bahkan telah mengubah musik yang dimainkan dalam pertemuan Sama’ pada sufi, mutiara hikmah yang dinisbatkan kepadanya sangatlah penting. Karena, pada dasarnya, inilah buku mengenai filsafat maupun makrifat dan hingga kini diajarkan di Persia bersama komentar-komentar makrifati.[4]
D.
HUBUNGAN TASAWUF DENGAN ILMU
FIQIH
Biasanya,
pembahasan kitab-kitab fiqih selalu dimulai dari Thaharah, kemudian
persoalan-persoalan kefiqihan lainnya. Namun, pembahasan ilmu fiqih tentang
thaharah atau yang lainnya secara tidak langsung terkait dengan pembicaraan nilai-nilai
rohaniahnya. Persoalannya sekarang, disiplin ilmu apakah yang dapat
menyempurnakan ilmu fiqih dalam persoalan-persoalan tersebut ? Ilmu Tasawuf
tampaknya merupakan jawaban yang paling tepat karena ilmu ini berhasil
memberikan corak batin terhadap ilmu fiqih. Corak batin yang dimaksud adalah
ikhlas dan khusyuk berikut jalannya masing-masing. Bahkan ilmu ini mampu
menumbuhkan kesiapan manusia untuk melaksanakan hukum-hukum fiqih. Akhirnya,
pelaksanaan kewajiban manusia tidak akan sempurna tanpa perjalanan rohaniah.
Dahulu para ahli fiqih mengatakan “Barang siapa mendalami fiqih, tetapi belum
bertasawuf, berarti ia fasik. Barang siapa bertasawuf, tetapi belum mendalami
fiqih, berarti ia zindiq. Dan Barang siapa melakukan ke-2 nya, berarti ia
melakukan kebenaran”. Tasawuf dan fiqih adalah 2 disiplin ilmu yang saling
menyempurnakan. Jika terjadi pertentangan antara ke-2 nya, berarti disitu
terjadi kesalahan dan penyimpangan. Maksudnya, boleh jadi seorang sufi berjalan
tanpa fiqih, atau seorang ahli tidak mengamalkan ilmunya. Jadi, seorang ahli
sufi harus bertasawuf (sufi), harus memahami dan mengikuti aturan fiqih.
Tegasnya, seorang fiqih harus mengetahui hal-hal yang berhubungan dengan hukum
dan yang berkaitan dengan tata cara pengamalannya. Seorang sufi pun harus
mengetahui aturan-aturan hukum dan sekaligus mengamalkannya. Ini menjelaskan
bahwa ilmu Tasawuf dan ilmu Fiqih adalah 2 disiplin ilmu yang saling
melengkapi.
E.
HUBUNGAN TASAWUF DENGAN ILMU JIWA
Dalam pembahasan Tasawuf dibicarakan tentang hubungan jiwa dengan badan. Yang
dikehendaki dari uraian tentang hubungan antara jiwa dan badan dalam Tasawuf
tersebut adalah terciptanya keserasian antara ke-2 nya. Pembahasan tentang jiwa
dan badan ini dikonsepsikan para sufi dalam rangka melihat sejauh mana hubungan
perilaku yang dipraktikan manusia dengan dorongan yang dimunculkan jiwanya
sehingga perbuatan itu dapat terjadi. Dari sini, baru muncul kategori-kategori
perbuatan manusia, apakah dkategorikan sebagai perbuatan jelek atau perbuatan
baik. Jika perbuatan yang ditampilkan seseorang baik, ia disebut orang yang
berakhlak baik. Sebaliknya, jika perbuatan yang ditampilkannya jelek, ia
disebut sebagai orang yang berakhlak jalek. Dalalm pandangan kaum sufi, akhlak
dan sifat seseorang bergantung pada jenis jiwa yang berkuasa atas dirinya. Jika
yang berkuasa dalam tubuhnya adalah nafsu-nafsu hewani atau nabati, yang akan
tampil dalam perilakunya adalah perilaku hewani atau nabati pula. Sebaliknya,
jika yang berkuasa adalah nafsu insani, yang akan tampil dalam perilakunya
adalah perilaku insani pula. Orang yang sehat mentalnya adalah yang mampu
merasakan kebahagiaan dalam hidup, karena orang-orang inilah yang dapat
merasakan bahwa dirinya berguna, berharga, dan mampu menggunakan segala potensi
dan bakatnya semaksimal mungkin dengan cara membawa kebahagiaan dirinya dan
orang lain. Disamping itu, ia mampu menyesuaikan diri dalam arti yang luas,
terhindar dari kegelisahan-kegelisahan dan gangguan jiwa, serta tetap
terpelihara moralnya.[5]
KESIMPULAN
[2] http://sufipopuler.wordpress.com/artikel-tasawuf/fungsi-dan-keutamaan-ilmu-tasawuf/ jam23.40 21
nov 2012
[4]
http://dewinelda.blogspot.com/2011/11/hubungan-akhlak-dengan-ilmu-tasawuf.html
[5]
http://ajiraksa.blogspot.com/2011/05/hubungan-tasawuf-dengan-ilmu-kalam-ilmu.htm
Tidak ada komentar:
Posting Komentar