PENDAHULUAN
Oleh: Moh. Elfan Falah
Orientalisme adalah tradisi kajian
keislaman yang berkembang di Barat. Dr.Syamsuddin Arif mengatakan, “gugatan
orientalis terhadap hadits bermula pada pertengahan abad ke-19 M, tatkala
hampir seluruh bagian Dunia Islam telah masuk dalam cengkraman kolonialisme
bangsa-bangsa Eropa Adalah Alois Sprenger, yang pertama kali mempersoalkan
status hadits dalam Islam. Dalam pendahuluan bukunya mengenai riwayat hidup dan
ajaran Nabi Muhammad SAW, misionaris asal Jerman yang pernah tinggal lama di India
ini mengklaim bahwa hadits merupakan kumpulan anekdot (cerita-cerita bohong
tapi menarik).
Secara umum kajian yang dilakukan
oleh kalangan orientalis memang memiliki kecenderungan dan motif yang berbeda.
Ada yang berniat “mencari” kebenaran dan tidak sedikit juga yang mencari
kelemahan Islam. Jika sebagian orientalis yang sungguh-sungguh mencari
kebenaran dari Islam melakukan kajian dengan ilmiah dan obyektif, maka sebagian
yang lain yang berniat mencari kelemahan Islam justru melakukan kajian secara
tidak obyektif (subyektif) dan penuh rasa curiga. Kemudian hasil kajian
tersebut digunakan untuk menyerang Islam, salah satunya dengan menggugat
otentisitas hadits dengan mengatakan bahwa hadits adalah rekayasa para ulama
abad kedua hijriah dan lain sebagainya.
Maka dari itu, untuk mengetahui, apa
saja kritikan orang orientalis terhadap hadits itu, maka dalam makalah ini,
kami akan sedikit menjelaskan, sekaligus membantah, guna untuk meluruskan dari
apa yang dikritik oleh orang orientalis tersebut.
Bentuk Kritikan Orientalis Terhadap
Hadits dan Bantanhan Orang Islam Terhadapnya
Kritikan
Ø
Hadits adalah buatan ulama abad pertama dan kedua dan tidak ditulis pada
zaman Rasulullah Saw.
v Dengan mudah dapat terbantahkan.
Abdullah Ibnu Umar ialah sahabat Nabi yang paling banyak menulis hadits
dibandingkan Abu Hurairah. Abu Hurairah menyatakan bahwa Abdullah Ibnu Umar
mencatat apa-apa yang tidak ia catat. Artinya, banyak hal yang masih belum Abu
Hurairah catat dibandingkan Ibnu Umar. Rasulullah Saw pernah berkata kepada
Ibnu Umar, “Catatlah dari aku, demi Dzat yang jiwaku berada dalam
genggaman-Nya, tidaklah keluar dari mulutku kecuali yang benar saja.”
Ø Goldziher menuduh bahwa
penelitian hadits yang dilakukan oleh ulama klasik tidak dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah karena kelemahan metodenya. Hal itu disebabkan para ulama lebih banyak menggunakan metode kritik sanad saja tanpa
kritik matan. Kemudian Goldziher menawarkan metode kritik matan saja.[1]
v Sebenarnya para ulama klasik
sudah menggunakan metode kritik matan, hanya saja apa yang dimaksud dengan
kritik matan menurut orientalis berbeda dengan istilah para ulama klasik.
Menurut Goldziher, kritik matan hadits mencakup berbagai aspek, seperti
politik, sains, sosial, kultural, dan lain-lain. Contohnya,
Imam Muslim meriwayatkan hadits : “Dikatakan kepada Ibnu Umar: bahwa Abu
Hurairah berkata, “Aku mendengar Rasulullah Saw bersabda, Siapa yang mengiringi
jenazah, bagi dia banyak pahala” lalu Ibnu Umar berkata, “Kau telah banyak
bercerita wahai Abu Hurairah.” Lalu hadits
ini dikirim kepada Siti Aisyah dan dia membenarkannya. Ketika itu Ibnu Umar
berkata, “Telah berlalu dari kami banyak pahala.” Di sini jelas bahwa sahabat
Nabi, Ibnu Umar, sangat berhati-hati terhadap apa yang telah disampaikan oleh
Abu Hurairah karena dia takut jika Abu Hurairah salah dan keliru dalam
hafalannya. Setelah dibenarkan oleh Aisyah, maka Ibnu Umar mengetahui bahwa
Abu Hurairah benar-benar hafal dan kuat ingatannya.[2]
Ø Schacht dalam bukunya The Origin of Muhammadan Jurisprudence,
berkesimpulan bahwa hadits-hadits, terutama yang berkaitan dengan hukum
Islam ialah rekaan para ulama abad kedua dan ketiga hijriah. Dia berkata,
“Kita tidak akan menemukan satu buah pun hadits yang berasal dari Nabi yang
dapat dipertimbangkan kesahihannya.”[3]
v Hal inilah termasuk dalam kelalaian dan kecerobohan para orientalis dalam melihat
sejarah. Mereka tidak tahu bahwa Rasulullah Saw setiap berbicara selalu
mengulanginya tiga kali, agar apa yang dikatakan benar-benar diserap oleh para
sahabat yang kadar hafalannya tidak sama. Ada yang cepat menghapal dan ada pula
yang lamban. Para sahabat seperti ini dikenal sebagai umat yang ummy, tidak
bisa membaca dan menulis. Mereka hanya mengandalkan hafalan saja, namun hafalan
mereka melebihi orang yang mencatat.
Ø Untuk
mendukung kesimpulan ini, Schacht mengajukan konsep “proyeksi ke belakang”,
yaitu mengaitkan pendapat para ahli fiqh abad kedua dan ketiga pada
tokoh-tokoh terdahulu agar pendapat ini mendapat legitimasi dari orang-orang
yang memiliki otoritas lebih mapan. Menurutnya,
para ahli fiqh telah mengaitkan pendapat-pendapatnya dengan para sahabat
sampai Rasulullah Saw, sehingga membentuk sanad hadits. Inilah fondasi
terbentuknya sanad hadits menurut Schacht yang berarti hadits-hadits itu tidak
otentik dari Nabi Saw.
Ø Para orientalis pun seringkali
meragukan kredibilitas para rawi hadits dan ulama hadits. Dan Tuduhan selanjutnya ialah bahwa para sahabat tidak menghafal hadits.
v Padahal,
terdapat sebuah disiplin ilmu yang dibuat oleh ulama hadits terkemuka seperti
Ibnu Abi Hatim ar-Razi dalam kitabnya Jarh Wa Ta’dil. Jarh berarti mencela, sedangkan ta’dil berarti memuji. Jarh wa Ta’dil
berguna untuk menilai para rijal hadits. Dari sini kita dapat mengetahui
keadaan masing-masing riwayat hidup para rawi. Dengan ilmu ini juga, hadits
Rasulullah dapat terjaga keasliannya. Jarh wa Ta’dil sebenarnya sudah ada
dalam al-Qur’an: “Jika datang seorang fasiq
membawa kabar, telitilah!” Selain itu, ilmu jarh tidak termasuk dalam
ghibah.
v Hasil kajian
Schacht tersebut sebenarnya telah dibantah oleh Muhammad Musthafa Azami,
seorang ulama dari India. MM Azami telah mengkritik kesalahan dan kecerobohan
yang dilakukan oleh Schacht. Menurutnya, metode yang dipakai oleh Scathc dengan
meneliti sanad hadits dari kitab-kitab fiqh jelas keliru. Seharusnya Schacht
merujuknya dari sumber utama yaitu kitab-kitab hadits sehingga tidak akan
menghasilkan kesimpulan yang keliru. Menurut penelitian yang dilakukan oleh MM
Azami, sebenarnya pemakaian sanad , jauh-jauh hari telah dilakukan oleh
masyarakat Arab secara umum. Artinya tradisi tersebut telah ada dan dilakukan
oleh para Sahabat untuk meriwayatkan hadits.[4]
Akibat Dari
Gerakan Kritik Orientalis Terhadap Hadits
Akibat dari gugatan para otientalis
dan misionaris itu telah minimbulkan dampak yang cukup besar. Melalaui
tulisan-tulisan yang diterbitkan dan dibaca luas, mereka telah berhasil mempengaruhi
dan meracuni pemikiran sebagian kalangan umat islam.
Propaganda hadits ini diteruskan
oleh Ghulam Ahmad Parwez dan Sayyid Rafi’uddin Multan, akan tetapi dibantah dan
mendapatkan serangan balik dari para ulama’ setempat seperti Muhammad Ismail as-Salafi,
Abu l-A’la al-Mawdudi, dan Muhammad Ayyub Dahlawi. Berkat jasa jasa beliau
gerakan anti hadits kian lama semakin berkurang, dan pengaruhnya perlahan-lahan
surut dan hilang ditelan zaman.
Wabah anti hadits juga sempat
merebak ditimur tengah. Pemicunya adalah artikel Muhammad Tawfiq Shidqi yang
dimuat dalam majalah al-manar kairo,
Mesir. Dan masih banyak gerakan anti hadits ini merebak dimana mana, seperti di
amerika, paris, dan sebagainya.
Namun di Indonesia sendiri gerakan
ini dilarang keras, dan secara resmi oleh para ulama’ dan pemerintah
sebagaimana tertera dalam keputusan Komisi Fatwa Majelis Ulama’ Indonesia Pusat
tahun 1983 dan keputusan jaksa agung republik Indonesia, Nomor 169/J.A/9/1983.[5]
Kesimpulan
Usaha kalangan orientalis yang menyerang
agama ini akan terus menemui kebuntuan. Hal ini karena para ulama dan para
fuqoha serta orang-orang yang ikhlas tidak akan pernah berhenti menyingkap
kebohongan-kebohongan mereka dengan menampakkan kebenaran Islam. Serta
mengembalikan dan meluruskan kembali pemahaman kaum muslimin, menyingkirkan
racun pemikiran (sekulerisme, liberalisme, pluralisme, serta seluruh
derivasinya) hingga umat ini bisa membedakan antara yang bathil dan yang haq.
Walhasil, tidak ada jalan lain untuk
menyelamatkan agama ini selain mengembalikan pemikiran kaum muslimin
berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya dan memahami keduanya sebagaimana
pemahaman para Sahabat RA dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik.
[1] Dr. Syamsuddi Arif, Orientalis dan Deabolisme Pemikiran, (Jakarta,
Gema Insani Perss, 2008), Hlm. 29
[2]
http://infointelek.blogspot.com/2013/01/bantahan-terhadap-orientalis-tentang.html
[3] Lihat Joseph Schat, The Origins of Muhammadan Jurisprodence, cetakan
kedua, (Oxford; Clarendon Perss, 1959; cetakan pertama 1950), 149
[4] Dr. Syamsuddin Arif, Gugatan Terhadap Hadits, http://ahlulhadis.wordpress.com/2008/05/31/gugatan-terhadap-hadis/
[5] Dr. Syamsuddi Arif, Orientalis dan Deabolisme Pemikiran, (Jakarta,
Gema Insani Perss, 2008), Hlm. 39
Tidak ada komentar:
Posting Komentar