Minggu, 23 Maret 2014

Kritik Orientalis Terhadap Hadits dan Jawaban Islam Terhadapnya



PENDAHULUAN
Oleh: Moh. Elfan Falah
Orientalisme adalah tradisi kajian keislaman yang berkembang di Barat. Dr.Syamsuddin Arif mengatakan, “gugatan orientalis terhadap hadits bermula pada pertengahan abad ke-19 M, tatkala hampir seluruh bagian Dunia Islam telah masuk dalam cengkraman kolonialisme bangsa-bangsa Eropa Adalah Alois Sprenger, yang pertama kali mempersoalkan status hadits dalam Islam. Dalam pendahuluan bukunya mengenai riwayat hidup dan ajaran Nabi Muhammad SAW, misionaris asal Jerman yang pernah tinggal lama di India ini mengklaim bahwa hadits merupakan kumpulan anekdot (cerita-cerita bohong tapi menarik). 
Secara umum kajian yang dilakukan oleh kalangan orientalis memang memiliki kecenderungan dan motif yang berbeda. Ada yang berniat “mencari” kebenaran dan tidak sedikit juga yang mencari kelemahan Islam. Jika sebagian orientalis yang sungguh-sungguh mencari kebenaran dari Islam melakukan kajian dengan ilmiah dan obyektif, maka sebagian yang lain yang berniat mencari kelemahan Islam justru melakukan kajian secara tidak obyektif (subyektif) dan penuh rasa curiga. Kemudian hasil kajian tersebut digunakan untuk menyerang Islam, salah satunya dengan menggugat otentisitas hadits dengan mengatakan bahwa hadits adalah rekayasa para ulama abad kedua hijriah dan lain sebagainya.
Maka dari itu, untuk mengetahui, apa saja kritikan orang orientalis terhadap hadits itu, maka dalam makalah ini, kami akan sedikit menjelaskan, sekaligus membantah, guna untuk meluruskan dari apa yang dikritik oleh orang orientalis tersebut.







Bentuk Kritikan Orientalis Terhadap Hadits dan Bantanhan Orang Islam Terhadapnya
Kritikan
Ø  Hadits adalah buatan ula­ma­ abad pertama dan kedua dan tidak ditulis pada zaman Rasulullah Saw.
v  Dengan mudah dapat ter­ban­tah­kan. Abdullah Ibnu Umar ialah sahabat Nabi yang paling banyak menulis hadits dibandingkan Abu Hurairah. Abu Hurairah menyatakan bahwa Abdullah Ibnu Umar mencatat apa-apa yang tidak ia catat. Artinya, banyak hal yang masih belum Abu Hurairah catat dibandingkan Ibnu Umar. Rasulullah Saw pernah berkata kepada Ibnu Umar, “Catatlah dari aku, demi Dzat yang jiwaku berada dalam genggaman-Nya, tidaklah keluar dari mulutku kecuali yang benar saja.”
Ø  Goldziher menuduh bahwa penelitian hadits yang dilakukan oleh ulama klasik tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah karena kelemahan metodenya. Hal itu disebabkan para ulama lebih banyak menggunakan metode kritik sanad saja tanpa kritik matan. Kemudian Goldziher menawarkan metode kritik matan­ saja.[1]
v  Sebenarnya para ulama klasik sudah menggunakan metode kritik matan, hanya saja apa yang dimaksud dengan kritik matan menurut orientalis berbeda dengan istilah para ulama klasik. Menurut Goldziher, kritik matan hadits mencakup berbagai aspek, seperti politik, sains, sosial, kultural, dan lain-lain. Contohnya, Imam Muslim meriwayatkan hadits : “Dikatakan kepada Ibnu Umar: bahwa Abu Hurairah berkata, “Aku mendengar Rasulullah Saw bersabda, Siapa yang mengiringi jenazah, bagi dia banyak pahala” lalu Ibnu Umar ber­kata, “Kau telah banyak bercerita wahai Abu Hurairah.” Lalu hadits ini dikirim kepa­da Siti Aisyah dan dia membenarkannya. Ketika itu Ibnu Umar berkata, “Telah berlalu dari kami banyak pahala.” Di sini jelas bahwa sahabat Nabi, Ibnu Umar, sangat berhati-hati terhadap apa yang­ telah disampaikan oleh Abu Hurairah kare­na dia takut jika Abu Hurairah salah dan keliru dalam hafalannya. Setelah dibenar­kan oleh Aisyah, maka Ibnu Umar mengetahui bahwa Abu Hurairah benar-benar hafal dan kuat ingatannya.[2]
Ø  Schacht dalam  bukunya The Origin of Muhammadan Jurisprudence, berkesimpulan­ bahwa hadits-hadits, terutama yang ber­kaitan dengan hukum  Islam ialah reka­an­ para ulama abad kedua dan ketiga hijri­ah. Dia berkata, “Kita tidak akan menemukan­ satu buah pun hadits yang berasal dari Nabi­ yang dapat dipertimbangkan kesahihannya.”[3]
v  Hal inilah termasuk dalam kelalaian dan kecerobohan para orientalis dalam melihat sejarah. Mereka tidak tahu bahwa Rasulullah Saw setiap berbicara selalu mengulanginya tiga kali, agar apa yang dikatakan benar-benar diserap oleh para sahabat yang kadar hafalannya tidak sama. Ada yang cepat menghapal dan ada pula yang lamban. Para sahabat seperti ini dikenal sebagai umat yang ummy, tidak bisa membaca dan menulis. Mereka hanya mengandalkan hafalan saja, namun hafalan mereka melebihi orang yang mencatat.
Ø  Untuk mendukung kesimpulan ini, Schacht mengajukan konsep “proyeksi ke belakang”, yaitu mengaitkan pendapat para­ ahli fiqh abad kedua dan ketiga pada tokoh-tokoh terdahulu agar pendapat ini mendapat legitimasi dari orang-orang yang memiliki otoritas lebih mapan. Menurutnya, para ahli fiqh telah mengaitkan pendapat­-pendapatnya dengan para sahabat sampai Rasulullah Saw, sehingga membentuk sanad hadits. Inilah fondasi terbentuknya sanad hadits menurut Schacht yang berarti hadits-hadits itu tidak otentik dari Nabi Saw.
Ø  Para orientalis pun seringkali meragukan kredibilitas para rawi hadits dan ula­ma­ hadits. Dan Tuduhan selanjutnya ialah bahwa para sahabat tidak menghafal hadits.
v  Padahal, terdapat sebuah disiplin il­mu yang dibuat oleh ulama hadits terkemuka seperti Ibnu Abi Hatim ar-Razi dalam kitabnya Jarh Wa Ta’dil. Jarh berarti men­ce­la, sedangkan ta’dil berarti memuji. Jarh­ wa Ta’dil berguna untuk menilai para­ rijal hadits. Dari sini kita dapat mengetahui keadaan masing-masing riwayat hidup para rawi. Dengan ilmu ini juga, hadits Rasulullah dapat terjaga keas­lian­nya. Jarh wa Ta’dil sebenarnya sudah ada dalam al-Quran: “Jika datang seorang fa­siq­ mem­bawa kabar, telitilah!” Selain itu,  il­mu jarh tidak termasuk dalam ghibah.
v  Hasil kajian Schacht tersebut sebenarnya telah dibantah oleh Muhammad Musthafa Azami, seorang ulama dari India. MM Azami telah mengkritik kesalahan dan kecerobohan yang dilakukan oleh Schacht. Menurutnya, metode yang dipakai oleh Scathc dengan meneliti sanad hadits dari kitab-kitab fiqh jelas keliru. Seharusnya Schacht merujuknya dari sumber utama yaitu kitab-kitab hadits sehingga tidak akan menghasilkan kesimpulan yang keliru. Menurut penelitian yang dilakukan oleh MM Azami, sebenarnya pemakaian sanad , jauh-jauh hari telah dilakukan oleh masyarakat Arab secara umum. Artinya tradisi tersebut telah ada dan dilakukan oleh para Sahabat untuk meriwayatkan hadits.[4]
Akibat Dari Gerakan Kritik Orientalis Terhadap Hadits
Akibat dari gugatan para otientalis dan misionaris itu telah minimbulkan dampak yang cukup besar. Melalaui tulisan-tulisan yang diterbitkan dan dibaca luas, mereka telah berhasil mempengaruhi dan meracuni pemikiran sebagian kalangan umat islam.
Propaganda hadits ini diteruskan oleh Ghulam Ahmad Parwez dan Sayyid Rafi’uddin Multan, akan tetapi dibantah dan mendapatkan serangan balik dari para ulama’ setempat seperti Muhammad Ismail as-Salafi, Abu l-A’la al-Mawdudi, dan Muhammad Ayyub Dahlawi. Berkat jasa jasa beliau gerakan anti hadits kian lama semakin berkurang, dan pengaruhnya perlahan-lahan surut dan hilang ditelan zaman.
Wabah anti hadits juga sempat merebak ditimur tengah. Pemicunya adalah artikel Muhammad Tawfiq Shidqi yang dimuat dalam majalah al-manar kairo, Mesir. Dan masih banyak gerakan anti hadits ini merebak dimana mana, seperti di amerika, paris, dan sebagainya.
Namun di Indonesia sendiri gerakan ini dilarang keras, dan secara resmi oleh para ulama’ dan pemerintah sebagaimana tertera dalam keputusan Komisi Fatwa Majelis Ulama’ Indonesia Pusat tahun 1983 dan keputusan jaksa agung republik Indonesia, Nomor 169/J.A/9/1983.[5]







Kesimpulan
Usaha kalangan orientalis yang menyerang agama ini akan terus menemui kebuntuan. Hal ini karena para ulama dan para fuqoha serta orang-orang yang ikhlas tidak akan pernah berhenti menyingkap kebohongan-kebohongan mereka dengan menampakkan kebenaran Islam. Serta mengembalikan dan meluruskan kembali pemahaman kaum muslimin, menyingkirkan racun pemikiran (sekulerisme, liberalisme, pluralisme, serta seluruh derivasinya) hingga umat ini bisa membedakan antara yang bathil dan yang haq.
Walhasil, tidak ada jalan lain untuk menyelamatkan agama ini selain mengembalikan pemikiran kaum muslimin berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya dan memahami keduanya sebagaimana pemahaman para Sahabat RA dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik.



[1] Dr. Syamsuddi Arif, Orientalis dan Deabolisme Pemikiran, (Jakarta, Gema Insani Perss, 2008), Hlm. 29
[2] http://infointelek.blogspot.com/2013/01/bantahan-terhadap-orientalis-tentang.html
[3] Lihat Joseph Schat, The Origins of Muhammadan Jurisprodence, cetakan kedua, (Oxford; Clarendon Perss, 1959; cetakan pertama 1950), 149
[4] Dr. Syamsuddin Arif, Gugatan Terhadap Hadits, http://ahlulhadis.wordpress.com/2008/05/31/gugatan-terhadap-hadis/
[5] Dr. Syamsuddi Arif, Orientalis dan Deabolisme Pemikiran, (Jakarta, Gema Insani Perss, 2008), Hlm. 39

Tidak ada komentar:

Posting Komentar